Selamat Datang di Pusat Informasi & Dokumentasi
Pura Agung Besakih

Nikmati pengalaman imersif memungkinkan Anda menjelajah dan mengenal Pura Agung Besakih yang dikenal sebagai awal peradaban Hindu Bali

Virtual Reality Tour 360

Sejarah Berdirinya Pura Besakih

cover

Menurut legenda, Pura Besakih didirikan oleh Rsi Markandeya, seorang pendeta Hindu yang datang dari Pulau Jawa pada abad ke-10 Masehi.

Rsi Markandeya melakukan perjalanan panjang dan melelahkan untuk mencapai Pulau Bali, yang pada saat itu masih berupa hutan lebat dan belum banyak dihuni. Namun, upaya pertamanya untuk membangun Pura Besakih tidak berhasil, karena beliau menghadapi banyak kesulitan dan tantangan. Rsi Markandeya kemudian kembali ke Pulau Jawa dan melakukan persiapan spiritual sebelum melakukan perjalanan kedua ke Bali.

Pada perjalanan keduanya, Rsi Markandeya akhirnya tiba di kaki Gunung Agung, gunung tertinggi di Bali. Beliau memulai pembangunan Pura Besakih.

Rsi Markandeya melakukan ritual penanaman Panca Datu, yaitu lima elemen yang dipercaya dapat menyeimbangkan dan menyucikan tempat tersebut. Ritual ini dilakukan untuk membersihkan dan menyucikan lokasi, serta untuk memastikan bahwa Pura Besakih dapat menjadi tempat suci yang harmonis dan seimbang.

Pura pertama yang dibangun dalam kompleks Pura Besakih adalah Pura Basukihan, yang terletak di bagian bawah kompleks pura. Setelah Pura Basukihan berhasil dibangun, Rsi Markandeya kemudian membangun pura-pura lainnya dalam kompleks Pura Besakih. Pura Besakih kemudian menjadi pusat keagamaan dan spiritual bagi masyarakat Bali, dan terus berkembang hingga saat ini.


Kedatangan Mpu Kuturan ke Pura Besakih

cover

Mpu Kuturan, seorang pendeta Buddha yang bijak, tiba di Bali pada abad ke-11 Masehi dan membawa perubahan besar dalam sistem kepercayaan dan Buda di pulau tersebut. Beliau diundang oleh Raja Udayana Warmadewa untuk membantu menata dan memperkuat spiritualitas masyarakat Bali yang saat itu tengah mengalami kemelut.

Mpu Kuturan kemudian memainkan peran kunci dalam menyatukan berbagai sekte dan aliran kepercayaan di Bali, termasuk Siwa dan Buda, menjadi satu wadah yang disebut “Ciwa Budha”. Dengan penguasaan spiritual yang mendalam, beliau memperkenalkan konsep Tri Murti, yaitu integrasi dari tiga aspek utama dalam kehidupan: Parahyangan (hubungan manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan manusia dengan sesama), dan Palemahan (hubungan manusia dengan alam).

Dalam upaya memperkuat spiritualitas masyarakat Bali, Mpu Kuturan juga membangun dan menyempurnakan beberapa pura penting, termasuk Pura Besakih, yang menjadi pusat keagamaan dan spiritual bagi masyarakat Hindu di Bali. Selain itu, beliau juga memperkenalkan konsep Kahyangang Tiga, yaitu tiga pura utama yang menjadi simbol persatuan umat Hindu di Bali: Pura Puseh, Pura Desa, dan Pura Dalem.

Dengan demikian, Mpu Kuturan telah meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi masyarakat Bali, yaitu sistem kepercayaan dan tata cara persembahyangan Hindu yang harmonis dan seimbang, serta konsep-konsep spiritual yang masih dipraktikkan hingga saat ini.


Kedatangan Dang Hyang Nirartha ke Pura Besakih

cover

Dang Hyang Nirartha, seorang tokoh spiritual Hindu yang berpengaruh, tiba di Bali pada abad ke-15, tepatnya pada tahun 1489 Masehi, semasa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Beliau datang dari Jawa sebagai bagian dari perjalanan dharmayatra dan tidak pernah kembali ke tanah asalnya karena pengaruh agama Hindu di Jawa mulai terdesak oleh agama Islam.

Selama di Bali, Dang Hyang Nirartha menetap di beberapa tempat, termasuk desa Mas, dan melakukan perjalanan ke berbagai wilayah untuk menyebarkan ajaran Hindu. Meskipun tidak ada catatan langsung tentang kunjungan beliau ke Pura Besakih, perannya dalam mengembangkan ajaran Hindu di Bali sangat signifikan.

Beberapa kontribusi penting Dang Hyang Nirartha bagi kepercayaan Hindu di Bali meliputi:

  • Pengembangan Ajaran Siwa Sidhanta: Dang Hyang Nirartha memperkenalkan konsep Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa, dengan Sadasiwa sebagai aspek yang paling diagungkan. Beliau juga memperkenalkan pelinggih Padmasana sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa.

  • Pembentukan Struktur Masyarakat: Dang Hyang Nirartha berperan dalam pembentukan struktur masyarakat Bali yang berbasis pada wangsa atau kasta. Beliau juga memperkenalkan sistem keagamaan yang lebih terstruktur dan memisahkan peran antara brahmana dan masyarakat umum.

  • Penyebaran Ajaran Hindu: Melalui perjalanan dan pengajarannya, Dang Hyang Nirartha berhasil menyebarkan ajaran Hindu ke berbagai wilayah di Bali dan bahkan hingga Lombok.

Dang Hyang Nirartha yang juga dikenal dengan nama Dang Hyang Dwijendra maupun Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh, meninggalkan warisan yang sangat berharga bagi masyarakat Hindu di Bali, dan ajarannya masih dipraktikkan hingga saat ini.


Besakih di masa pemerintahan Raja Klungkung Ida Dalem Waturenggong

cover

Ida Dalem Waturenggong, raja Bali ke-IV dari Wangsa Kepakisan, memerintah Kerajaan Gelgel pada tahun 1459-1550 Masehi. Masa pemerintahannya dikenal sebagai era keemasan Kerajaan Bali, dengan kemajuan signifikan dalam bidang sastra, agama, budaya, dan militer. Meskipun tidak ada catatan langsung tentang perhatian beliau terhadap Pura Besakih, namun Raja Waturenggong memiliki peran penting dalam pengembangan agama Hindu di Bali melalui kedatangan Dang Hyang Nirartha, seorang pendeta Siwa yang berpengaruh.

Beberapa warisan yang ditinggalkan oleh Ida Dalem Waturenggong, antara lain:

  • Pengembangan Sistem Keagamaan: Raja Waturenggong mendukung pengembangan sistem keagamaan Hindu di Bali, yang dipengaruhi oleh ajaran Dang Hyang Nirartha dan Mpu Kuturan.

  • Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya: Beliau memerintahkan pembangunan Pura Dalem Sidakarya, yang kemudian berganti nama menjadi Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya, sebagai tempat nunas tirta sidakarya bagi umat Hindu.

  • Warisan Sastra: Masa pemerintahan Raja Waturenggong juga menghasilkan banyak karya sastra keagamaan, seperti Sebun Bangkung, Kawya Dharma Putus, dan Usana Bali.

Dalam pemerintahan Raja Waturenggong, Pura Besakih mungkin tidak secara langsung disebutkan sebagai fokus utama, namun perkembangan agama dan budaya pada masa itu tentunya berdampak pada pura-pura lainnya di Bali, termasuk Pura Besakih yang merupakan salah satu pura terpenting di Bali.


Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya

cover

Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan perjalanan Brahmana Keling, yang kemudian dikenal sebagai Dalem Sidakarya, ke Pura Besakih.

Brahmana Keling dari Pulau Jawa tiba di Pura Besakih untuk membantu Raja Dalem Waturenggong dalam upacara Eka Dasa Rudra. Namun, masyarakat setempat meragukan hubungan kekeluargaan antara Brahmana Keling dan Dalem Waturenggong, sehingga Brahmana Keling diusir dengan cara yang tidak hormat.

Sebelum meninggalkan Pura Besakih, Brahmana Keling mengucapkan kutukan yang menyebabkan kekeringan dan kehancuran di seluruh Bali. Kutukan ini terbukti benar, dan Dalem Waturenggong kemudian melakukan meditasi di Pura Besakih untuk meminta petunjuk. Ida Batara memberi tahu Dalem Waturenggong bahwa Brahmana Keling memiliki kemampuan untuk menghilangkan kutukan tersebut.

Setelah Brahmana Keling mengangkat kutukannya, Dalem Waturenggong memberikan penghargaan dengan menganugerahkan gelar Dalem Sidakarya kepadanya. Dalem Waturenggong juga memerintahkan pembangunan Pura Dalem Sidakarya pada tahun 1518 Masehi untuk mengenang jasa Dalem Sidakarya dan sebagai tempat nunas tirta sidakarya bagi umat Hindu. Pura ini kemudian berganti nama menjadi Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya.